Definisi Lahan Kering

Definisi Lahan Kering

Senin, 27 Juni 2022

Nusa Tenggara Timur: Lahan Kering Kepulauan di Indonesia

Tidak ada definisi tunggal yang disepakati tentang istilah lahan kering. Dua definisi yang paling diterima secara luas adalah FAO dan Konvensi PBB untuk Memerangi Desertifikasi (UNCCD, 2000). FAO telah menetapkan lahan kering sebagai daerah dengan masa tanam yang panjang (LGP) dari 1-179 hari, secara klimatologi dikategorikan sebagai gersang, semi-kering dan kering lembab. Klasifikasi UNCCD menggunakan rasio dari curah hujan tahunan menjadi evapotranspirasi potensial (P/PET). Nilai ini menunjukkan jumlah maksimum air yang bisa hilang, seperti uap air, dalam waktu tertentu iklim, oleh hamparan vegetasi yang terus-menerus menutupi seluruh tanah dan disuplai secara baik dengan air, termasuk penguapan dari tanah dan transpirasi dari vegetasi di wilayah tertentu dalam suatu interval waktu. Lahan kering menurut klasifikasi UNCCD dicirikan oleh P/PET dari antara 0,05 dan 0,65.

Di Indonesia stilah lahan kering secara umum selalu diakaitkan dengan lahan tanpa pengairan sehingga pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, Suawesi, Maluku dan Papua juga dikategorikan daerah lahan kering karena ada daerah-daerah pertanian yang tanpa sistem irigasi permanen. tidak ada yang salah dengan pengertian itu, tetapi lahan kering dalam pengertian tersebut secara klimatologis berada di zone agroklimat basah. istilah lahan kering yang lebih tepat adalah lahan tanpa pengairan di area yang tidak pernah jenuh oleh air secara permanen sepanjang musim. secara klimatologis daerah demikian pada umumnya terdapat pada daerah yang curah hujannya relatif rendah dan termasuk daerah Arid dan Semi Arid. beberapa indikator untuk menyatakan suatu daerah sebagai daerah arid dan semi arid adalah hubungan antara rata-rata bulan hujan dan potensi evapotranspirasi. Selain itu juga bisa didasarkan atas nilai Indeks Ariditas. Daerah Semi Arid didefinisikan sebagi daerah yang nilai Indeks Ariditasnyah antara 10 - 20. Menurut kriteria Ferguson, dikatakan bulan basah apabila CH-nya < 60 mm/bulan dan dikatakan bulan kering apabila CH-nya > 100 mm/bulan. Selanjutnya suatu daerah disebut kering apabila memiliki 4,5 – 7,9 bulan kering. Sedangkan menurut klasifikasi Oldeman (bulan kering = CH < 100 mm/bulan). 

Klasifikasi agroklimat di daerah tropik menurut Throll (1966) adalah CH bulanan, dimana CH bulanan > dari 200 mm/bulan disebut bulan basah. Selanjutnya berdasarkan banyaknya bulan basah dalam setahun, daerah tropik dapat dibagi menjadi 4 (empat) zone agroklimat yaitu:

a. Daerah beriklim sangat lembab, dengan bulan basah > 9 bulan.
b. Daerah beriklim sangat lembab, dengan bulan basah > 7 – 9 bulan
c. Daerah beriklim sangat lembab, dengan bulan basah > 4,5 - 7 bulan
d. Daerah beriklim setengah kering, dengan bulan basah > 2 – 4,5 bulan.
e. Daerah beriklim kering, dengan bulan basah < 2 bulan.


jika didasarkan pada penjelasan diatas, Nusa Tenggara Timur (NTT) sebenarnya secara keseluruhan tidak persis termasuk daerah Semi Arid, karena terdapat daerah-daerah yang memiliki CH bulanan relatif tinggi. Secara klimatologis menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, sekitar 60 % daratan di NTT bertipe iklim E, 30 % nya F dan 10 %nya dengan tipe iklim B dan D. Sedangkan menurut klasifikasi Oldeman, 62,6 % dari total wilayah NTT memiliki 7-9 bulan kering (Tipe D4 dan E3). Itulah sebabnya, Soegiri (1972 dalam Widyatmika, 1987) berpendapat bahwa NTT termasuk wilayah beriklim kering (Arid) atau semi kering (Semi Arid) dan vegetasinya cenderung didominasi oleh savana dan stepa. 

NTT disebut sebagai wilayah kepulauan dengan iklim kering karena wilayahnya yang terdiri atas 75,0% laut dan sisanya daratan. Wilayah NTT seluas 47.349,90 km2, terdiri dari 566 buah pulau besar dan kecil, dan hanya 42 pulau yang berpenghuni. Secara morfologis topografis, 73,13 % wilayah daratannya bergunung dan berbukit, yang dengan kemiringan 15 %-40 % seluas 38,07 % dan dengan kemiringan > 40 % seluas 35,46 %; dengan variasi ketinggian tempat antara 100-1.000 m di atas permukaan laut. Menurut laporan CIDA (1976) dari total luas wilayah NTT, ada 66,4 % (3.227.660 ha) yang memiliki kemiringan tajam sehingga tidak cocok diusahakan sebagai lahan pertanian. Luas lahan pertanian sekitar 1.637.000 ha (34 % dari luas wilayah), 92 %nya adalah lahan kering. Berdasarkan beberapa data di atas maka jelaslah bahwa sebagian besar wilayah NTT adalah didominasi oleh lahan kering beriklim kering. Lahan kering di NTT tersebar di Timor Barat, Sumba, Alor, Sabu dan Flores.


Sumber: 
  1. Arnon, I. 1992. Agriculture in Dry Lands: Principles and Practice, Elsevier Science Publisher. Netherlands
  2. Tim Penulis, 2017, Bahan Ajar Budaya Lahan Kering Kepulauan dan Pariwisata Prodi       Agroteknologi. Fakultas Pertanian Undana. Kupang
  3. Souries, V., P. Tow. 1991, Dryland Farming: A Systems Approach. Sydney University Press. Melbourne.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar